Translate

CLICK at HOME…If it said this blog does not exist.

Wednesday, 2 October 2013

DEBAT IMAM ABU HASSAN AL-ASY'ARI



Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an dan apatah lagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah.

Sesuai dengan firman Allah (yang artinya):

Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).

Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila adanya mu`jizat bererti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.Sudah tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. 

Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya (yang artinya):

(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)

Untuk kehidupan manusia. Allah telah memberikan hukum yang dinamakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeza dengan hukum yang berlaku bagi Allah. 

Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?

Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy`ary dalam segi aqidah dalam rangka pembetulan terhadap faham mu`tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalan mengenai, 

Apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidak. Fahaman Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan dihuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. 

Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:

Al Asy`ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?

Al Jubba`i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.

A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : Anak kecil tidak akan masuk neraka

A : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?

B : tidak, kerana dia tidak pernah berbuat baik


A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa dia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan

B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.

A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat digunakan.

Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka aqidah yang disusunnya lebih dikenali dengan Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

No comments:

Post a Comment